PR dan Amplop Bagi Wartawan

Akhir pekan ini, saya bertemu dengan mantan narasumber saya. Dia kebetulan datang ke Kota Semarang dalam rangka pembukaan gerai atau cabang baru perusahaannya. Layaknya pembukaan tempat, pastilah ada yang namanya jumpa pers. Karena saya bukan seorang wartawan lagi, kedatangan saya lebih pada sebagai temu kangen dan pertemanan, mengingat kami memang sudah menjalin relasi lebih dari empat tahun.

Ngobrol sana sini sesudah jumpa pers yang ternyata berlangsung singkat, saya pun iseng-iseng bertanya, siapa saja wartawan yang hadir, dari media mana saja? Teman saya pun berkata, bahwa hanya ada satu media lokal cetak setelah pihaknya telah menyebar undangan ke media nasional, dan televisi yang ada di Kota Semarang! Itupun karena pihaknya telah memasang iklan di media cetak tersebut.

Usut punya usut setelah berbincang di sebuah kafe, teman saya pun berkata bahwa, ternyata dari beberapa pembukaan gerai di beberapa kota selain Kota Jakarta, untuk sebuah jumpa pers, harus ada amplop berisi uang transpor bagi wartawan peliput yang datang. Dia pun menyebut sejumlah kota, selain Semarang. Dia juga bercerita bahwa, amplop bagi media peliput itu adalah is a must, tak peduli apakah media massa tersebut adalah media massa yang dipandang menabukan amplop liputan.

Saya, sebagai mantan wartawan dan hampir 15 tahun berkarier sebagai wartawan yang meliput berbagai desk, memang dihadapkan pada fenomena amplop tersebut. Saya pun mengomentari “kasus” teman saya itu dengan berkata,”Soal amplop, terpulang kepada wartawannya.”

Teman saya menjawab,”Itulah! Di Jakarta, selama bertahun-tahun saya bekerja sebagai PR Agency maupun humas sebuah perusahaan, tidak pernah menganggarkan amplop berisi uang transportasi kepada wartawan. Hal itu akan merendahkan wartawan. Karena, berapa sih isi amplop itu? Biasanya, kami mengalokasikan amplop itu dalam bentuk iklan. Karena kami sadar, kalau memang nilai beritanya lebih ke promosi, jalan paling tepat adalah melalui iklan.”

Teman saya, yang seorang wartawan media nasional, mengomentari soal amplop itu sebagai cara sebuah PR agar wartawan mau meliput dan menulis berita di media tempat dia bekerja. “Setiap PR punya cara sendiri-sendiri agar wartawan mau menulis berita kliennya. Jadi, ada PR yang menganggarkan amplop bagi wartawan, dan ada yang tidak.”

Perdebatan soal amplop bagi wartawan peliput, memang tak pernah selesai. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi PR, perlukah menganggarkan amplop bagi wartawan peliput yang datang di event yang diadakan?

=============================================================================================

Akankah Social Media Menggusur Peran PR dan Media Massa?

Siapa tak tahu social media (socmed)? Hare gene, setiap orang yang melek Internet adalah pengguna socmed. Sebutlah, socmed yang paling banyak digunakan penduduk negara Indonesia, adalah jejaring pertemanan facebook (fb) dan kemudian Twitter. Sebetulnya bentuk socmed lainnya tak hanya itu. Kalau Anda masih ingat friendster yang kalah pamor dari fb, telah muncul sejak tahun 2000an. Ada juga yang lumayan banyak digunakan yakni foursquare dan gowalla, kemudian stumbleupon. Tetapi, dari sekian banyak somed, ya hanya fb dan twitter yang paling populer. Bahkan, saking banyaknya orang Indonesia yang menggunakan twitter, hampir semua trending tropic di twitter, bisa digerakkan oleh pengguna twitter di Indonesia.

Potensi socmed mendulang interaksi sesama pemilik akun atau pengguna Internet, menjadikan socmed dilirik banyak orang sebagai ajang promosi, eksistensi diri dan tujuan utamanya yakni berinteraksi dengan banyak orang. Sekarang, hampir semua public figure dan perusahaan, memiliki akun fb dan twitter. Mereka, para perusahaan dan public figure itu bahkan memiliki karyawan yang tugasnya adalah updating akun fb dan twitter. Bentuk-bentuk updating itu antara lain, berupa pemberitahuan informasi terkini berkaitan dengan produk dan rencana mereka. Bila pemilik akun adalah seorang public figure, pastinya updating adalah seputar informasi tentang dirinya.

Socmed, diam-diam telah menjadi juru wicara sekaligus juru pemasaran. Banyak sekali jualan yang bisa kita temui di fb dan twitter. Dengan ber-socmed, belanja iklan menjadi bisa diminimalkan dan lebih hemat pastinya. Selain itu, pemilik akun juga tidak perlu menganggarkan biaya untuk kehumasan (PR) berkaitan dengan produk atau jasa mereka yang dikomersialkan kepada masyarakat melalui socmed. Dengan fenomena seperti itu, maka PR harus membuka diri untuk mampu menangani socmed bagi klien-nya. Karenanya seorang PR harus bisa menawarkan sejumlah jurus-jurus ampuh dalam ber-socmed.

Fenomena socmed ini diam-diam juga telah mendahului kinerja wartawan sebagai pemburu berita. Banyak kasus dan kejadian, diketahui masyarakat, lebih dulu dari twitter. Contoh dari kejadian tabrakan, kemacetan lalu lintas, banjir hingga cuaca. Bahkan, berita-berita infotainment yang menyangkut para selebriti, lebih dulu muncul di twitter. Fungsi media massa sebagai penyampai informasi, menjadi ketinggalan karena aktivitas socmed. Bahkan, media online yang hitungannya per detik pun, sekarang informasi yang didapatnya, terlambat beberapa detik ketimbang twitter.

Siapa agen-agen socmed yang telah melibas media massa dalam penyampai berita itu? Mereka adalah yang disebut sebagai citizen journalism. Para penduduk yang dengan sukarela, menyampaikan informasi melalui jejaring socmed!

Dengan fenomena socmed tersebut, akankah socmed menggusur peran PR dan media massa? Hanya waktu yang bisa menjawab.

By : Sesilia Nuke Ernawati