Siang itu, mendekati akhir tahun 2012 saya sedang menunggu seorang teman untuk janji makan siang di lobi mal Pacific Place. Keadaan di lobi waktu itu dipadati oleh lulusan mahasiswa/i dari salah satu sekolah tinggi Public Relation (PR) di Jakarta, yang kebetulan tempat saya berkuliah waktu itu. Mereka  baru selesai diwisuda. Lumayan banyak jumlahnya. Padahal sewaktu saya menjadi mahasiswa di sekolah tersebut tahun 1998, jumlah siswanya tidak banyak. Satu kelas cuma sekitar 15-20 orang, dan per angkatan hanya 2 kelas. Senang juga melihat begitu banyak adik-adik penerus yang ternyata tertarik menekuni bidang PR.

Saya sempat bertanya kepada salah satu lulusan yang sedang berfoto-foto bersama keluarganya di lobi, “Kenapa kok menekuni ilmu PR ?” Jawaban klasik yang diberikan “Karena bisa menjadi wakil atau juru bicara bagi perusahaan.”

Kurang puas, saya iseng mendekati mahasiswi lainnya. Ada juga yang menjawab, karena ingin dan suka diekspose oleh media, masuk TV, diwawancara, masuk majalah, senang bertemu orang, dan senang karena banyak event. Rupanya banyak generasi muda yang tertarik menjadi PR karena ingin dirinya menjadi tokoh yang ditampilkan untuk mewakili organisasi atau perusahaan, atau yang biasa disebut narsum (nara sumber) atau jubir (juru bicara).

Padahal, berdasarkan pengalaman saya selama lebih dari 10 tahun berkecimpung di dunia PR, ada passion lain dari hanya sekadar menjadi juru bicara. Peran profesi ini sangat menantang bagi saya karena jika perusahaan sedang adem ayem, atau business as usual, kita seperti tidak dianggap. Fungsi pekerjaan bahkan kadang dijadikan bahan pertanyaan oleh pihak manajemen dan perannya sepertinya tidak terlalu berarti. Namun, jika perusahaan sedang tertimpa musibah atau kejadian lain yang menarik perhatian khalayak, kita orang yang pertama dicari oleh media dan menjadi orang pertama yang diminta manajemen untuk maju lebih dulu menghadapi media. Kalau di papan catur, maka seperti pion, harus maju dulu sebelum bidak menteri, benteng, raja dan ratu turun tangan untuk melakukan skak mat.

Saya juga sering mengandaikan posisi ini seperti satpam perusahaan. Satpam menjaga gedung secara fisik supaya aman, demikian juga dengan seorang PR, ia harus menjaga image ‘fisik’ perusahaan setiap saat. Menjaga image perusahaan, dengan selalu mengkomunikasikan kepada publik, kinerja yang telah dicapai perusahaan. Bagaimana perusahaan memberikan kontribusi kepada komunitasnya, inovasi apa saja yang diciptakan perusahaan dan bagaimana perusahaan menjalankan bisnisnya, mengembangkan perekonomian lokal, kemitraan dengan usaha kecil, besar hingga kemitraan strategis lainnya.

Tidak hanya hal-hal pencitraan saja, tapi seorang PR juga harus selalu berjaga-jaga menghadapi isu yang tiba-tiba datang. Di sini adrenalin dan kapabilitas seorang PR teruji. Dan saat-saat seperti inilah biasanya seorang PR yang diminta maju menghadapi wartawan, memberikan keterangan yang dapat dipercaya dan memberikan jawaban yang memuaskan bagi media. Jadi, siapkah kita menghadapi hal yang terbaik dan yang terburuk ? Berjaga-jaga setiap saat untuk menghadapi beragam isu yang menimpa perusahaan ? Atau kita hanya ingin menjadi PR yang tampil ‘cantik’ di media, beramah tamah dari event ke event lainnya ?

By : cynthia iskandar, email : cynthia_iskandar@yahoo.com, twitter : @cynthiaiskandar